Hampir satu tahun kini kami menjalankan pendidikan mandiri di rumah. Terhitung sejak Kaira mulai masuk pelajaran terstrukturnya jalan dua semester ini, Saat itu pula kami memberanikan diri disebut sebagai keluarga pelaku homeschooling (homeschooler/HS-er) alias bersekolah di rumah atau tidak belajar di sekolah.
Di kalangan HS-er, disebut ber-HS itu jika sudah masuk usia sekolah dasar. Usia dini belum dianggap “resmi” bersekolah. Jadi kalau ada yang mengaku meng-homeschooling-kan anaknya sejak bayi sekali pun, ya itu masih dianggap bukan ber-HS hehe..
Niatan ber-HS ini awalnya datang dari aku sendiri. Dulu saat masih bekerja sebagai presenter dialog interaktif di sebuah radio, kewajibanku adalah menghadirkan tema-tema yang layak diketahui dan bermanfaat untuk publik. Jika hari aktif, tema-temanya tidak jauh dari politik, ekonomi, sosial, pendidikan. Nah, kalau hari Sabtu, kami dalam tim memutuskan diisi dengan tema “santai” tapi tetap dalam koridor di atas seperti seni dan budaya, pengalaman inspiratif tokoh di segala bidang, hobi, atau hal menarik lainnya.
Salah satunya adalah tema homeschooling. Saat itu jujur saja, aku kebingungan loh mendefinisikan HS. Sebagai presenter, dituntut untuk mempelajari tema yang akan dibawakan agar bisa memberikan pertanyaan yang bernas kepada narasumber. Namun tetap saja, hingga selesai dialog itu, malah terus menimbulkan pertanyaan baru. Aku masih bingung dengan “homeschooling itu apa sih?”. Saat itu, narasumber yang kuundang adalah Pak Lukman Hakim dari Sekolah Dolan. Beliau juga mewakili kalau tidak salah dari ASAH PENA (Asosiasi Penyelenggara Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif). Jadi mindset-ku saat itu memang HS adalah lembaga. Bahkan jika ada yang bertanya HS selalu kuarahkan pada beliau. Itu sekitar tahun 2014-an kira-kira.
Tapi ide soal HS terus berlanjut dan berputar-putar di kepalaku. Sebelum mendatangkan beliau, aku memang sudah melihat-lihat aktivitas para pegiat HS di medsos. Hanya sebatas ingin namun tersimpan dalam hati. Tidak yakin bisa dan berani. Kupikir, bagaimana mengatur waktunya karena aku ibu bekerja dari pagi hingga sore dan suami tidak selalu dapat “diandalkan” karena PP Malang-Surabaya. Oh ya, malah sebelum kenal nama komunitas di Malang, saat mengetik homeschooling, lalu mengarah ke sini. Dari sini juga aku belajar banyak soal parenting dan pendidikan. Apalagi tahun itu adalah masa-masa aku juga banyak belajar menjadi orang tua dengan beragam topik lain yaitu ASI, MPASI, gentle birth, cloth diaper, ramah lingkungan, dan baaanyaakk lainnya. Tema-tema yang mulai aku pelajari dengan sukacita saat hamil Kaira di 2011 atau sejak keguguran pada kehamilan pertama.
HIngga berjalannya waktu, dan konsen pada tema-tema di atas karena kebutuhan, sampailah pada 2016, aku berkenalan dengan Komunitas Home Education yang beberapa di antaranya adalah keluarga HS-er. Nama-nama seperti DK. Wardhani, Farida Purnaminingrum, Vita Swastika, Idaul Hasanah lalu bertambah nama yang lain, secara satu persatu masuk dalam radarku. Awalnya kenal hanya sebatas di dunia maya dan alhamdulillah sekarang berteman dengan beliau semua. Dan komunitas ini juga sempat kuajak on air untuk menyemarakkan udara bahwa ada loh keluarga homeschooling di Malang. Juga beberapa kegiatan lain yang diinisiasi oleh komunitas ini dengan beberapa komunitas lain seperti talent mapping Abah Rama, parenting bersama Bu Septi Peni Wulandani pendiri IIP (institut Ibu Profesional). Sejak awal kenal IIP, selalu kagum dengan aktivitas pendiri berikut anggotanya, namun tidak pernah membuatku mendaftarkan diri. Keder saya, merasa tanggung jawabnya terlalu besar menyandang sebagai ibu profesional gitu hahaa…
Namun, meski aku bekerja, kugunakan betul kesempatan meng-handle anak saat sela waktu seperti pulang kantor sore atau libur kerja (yang tidak bisa disebut libur beneran tanpa kerjaan hehe). Saat aku pulang kerja, si mbak ART kuminta mengurus dirinya sendiri alias off duty. Pulang kerja seringnya sudah sore, hampir maghrib. Sebenernya sangat lelah, pulang pengennya langsung leyeh-leyeh apalagi posisi hamil anak kedua. Tapi entah apa yang merasukiku saat itu, aku mau pegang sendiri anakku. Jadi makan malam, mengajak main, membacakan buku, itu aktivitas yang kulakukan bareng Kaira. Itu masa yang menyenangkan sekaligus melelahkan karena Kaira di masa itu sedang mengalami terrible two yang maha dahsyat. Ada aja kelakuannya yang nggregetno hahaa… Seperti sudah siap tidur, lampu kamar sudah dimatikan, mendadak minta bangun dan makan! Karena aku sudah saaangaat lelah dan mengantuk, jadinya emosi banget. Tapi akhirnya ya dituruti saja. Kejadian begini tidak sekali dua kali lah… Juga saat itu, karena aku kelelahan jadinya males mendisiplinkan Kaira sikat gigi sejak dini 🙁 Belum lagi, anak ini sulit sekali minum obat sekalipun itu sirup penurun panas. Minum lalu muntah. Gitu terus 🙁 (yah ini kok jadi ngelantur ke sini ehhehe)
Tapi, karena hasratku mengajari anakku sendiri cukup besar (atau mungkin di bawah alam sadarku mengatakan inilah konsekuensi yang diambil sebagai ibu bekerja), di sela-sela waktu istirahat kantor atau saat komputer kantor nganggur ditinggal orang-orang, aku sering searching aneka topik kebutuhan pribadi dan anak sampai ketemu dengan website ini. Waktu itu masih belum jadi member, Jadi aku mencari materi worksheet untuk Kaira yang saat itu berumur 3-4 tahun seperti mewarnai, mengenal angka, mengenal huruf, tracing, menggunting, menempel. Oh ya, materi ini ngeprint pakai kertas bekas di kantor yang gak kepakai. Rasanya sayang lihat kertas gak kepakai nganggur hehe.. Untung saat itu, Kaira belum protes karena di balik worksheet yang dia kerjakan, ada tulisan-tulisan berita hehe.. Jadi saat kutinggal kerja, Kaira kutinggali worksheet atau kutemani dia mengerjakan worksheet itu.
Hingga Februari 2015, empat bulan setelah Mikhail lahir, kuputuskan memberhentikan mbak ART yang kunilai kurang mendukung perkembangan keluarga kami menjadi lebih baik. Kuhandle semua aktivitas rumah tangga dan mengasuh anak. Selama enam bulan berikutnya, adalah masa-masa berat sekali jika dibayangkan sekarang hehe.. Mikhail masih ASIX dan aku menyiapkan ASIP (ASI perah), Kaira mulai perlu ditemani orang lain selama aku bekerja, dan segala tetek bengek urusan rumah tangga, nyaris aku yang urus mulai makan, pergombalan alias baju-baju yang terus beranak jika tidak diurus, dan macam-macam lainnya. Belum lagi bibit-bibit pertengkaran suami-istri jadi lebih intensif saat itu karena kami berdua (akhirnya harus diakui) sangat kelelahan. Urusan sepele sih tapi akhirnya jadi besar dan saling menyakiti dengan kata-kata. FYI, suami saat itu masih PP Malang-Surabaya. Nyampai rumah paling cepat jam 2 dini hari. Berangkat siang jam 14 atau lebih pagi jika ada rapat atau tugas lainnya. Sedangkan pagi adalah masa-masa crowded aktivitas rumah dimulai. Jam 2 dini hari, aku sudah bangun, pumping, dan menggiling baju dua kali karena Mikhail masih bayi dan pakai clodi, jadi perlu dipisah/atau dibersihkan dulu sebelum gabung dengan pakaian lain agar bersih dan suci/tidak najis. Lanjut masak untuk makan seharian itu sembari bekal. Dan herannya, selain makanan utama, aku juga bikin camilan yang kadang juga cake/kue yang kupanggang pakai oven loh wkwkwk…Apalagi saat Mikhail mulai MPASI, ketambahan pula yang dimasak dan sepertinya aku bisa menjalani itu semua. Tapi ya saaangaat keburu-buru karena jam 8 kurang seperempat, aku harus sudah di kantor untuk on air sesuai jadwal!
Yang kuinginkan saat itu adalah suami bisa membantuku mengurangi kerempongan ini semua. Tapi karena lelah, beliau pengennya tidur meski niatnya pengen bantu. Kuminta pegang bocah, akhirnya bocahnya kemana ngacak-acak apa dan yang dimintai tolong, sudah nglimpus haha… Jadi, sebenarnya aku paham apa yang terjadi tapi tetep pengen dibantuin suami. Kami bahkan kehilangan banyak waktu berdua untuk sekedar ngobrol, curhal, atau berefleksi. Bahkan saking gak pernah ketemu dengan layak di rumah, kami berdua sering janjian makan siang di sela-sela waktu istirahat kantor/ke rumah penitipan menyusui Mikhail. Sampai segitunya ya hehe
Saat itu, anak-anak kutitipkan dan diasuh dengan sangat baik oleh Mama Firdia. Terima kasih ya, Mam… Semoga jadi amal baik pernah merawat anak-anakku. Ini juga berkat Mbak Era yang memperkenalkan. beliau padaku. Matur nuwun nggih Mbak..Karena jika tidak ada perantara ini, aku masih terus hunting tempat penitipan yang beberapa kali aku tengok, aku gak pernah bisa tega menitipkan bocah ke sana. Maunya, anakku dititipkan kepada orang yang baik dan mendukung pola pengasuhanku. Untung ketemu Mama Firdia dan keluarga, itu rezeki dan alhamdulillah sekali… Sampai kini, malah berkomunitas bersama sebagai HS-er ya Mam 🙂
Oya, di rumah Mama Firdia, jadwal penitipan hingga pukul 16.30. Jika pekerjaanku belum selesai, anak-anak kuangkut ke kantor. Di sore hari, kantor sudah mulai sepi tapi untuk seksiku masih tetap bekerja. Sering pulang ke rumah setelah Maghrib. Ini juga keadaan yang kusyukuri karena saat itu boleh bawa anak-anak ke kantor. Jadi bagi anakku, kantor adalah taman bermain dan rumah kedua. Di sana Kaira bersosialisasi dan Mikhail latihan merangkak menyusuri koridor hingga bajunya kotor bagai lap pel hehhe…
Tapi memang pikiran untuk resign mulai tebersit. Rasanya lelah sekali sebagai ibu bekerja. Juga kuatir tidak dianggap profesional. Tapi sungguh, aku tidak pernah menjadikan anakku alasan untuk mangkir dari pekerjaan kantor. Saat bekerja, aku mengutamakan pekerjaan. Aku gak mau, saat kantor membutuhkan namun aku beralasan anak sakit dan sebagainya. Pasti aku cari cara agar kantor terpenuhi tanpa mengurangi banyak kewajibanku pada anak-anak. Aku tidak pernah mengeluh jika harus siaran dini hari meski konsekuensinya aku bawa semua bocah saat mereka tidur dan meminta suami pulang lebih cepat agar bisa handle anak-anak. Dan rasanya di masa itu, kepentingan kantor lebih tinggi dari segalanya. Jadi prioritas karena dari sanalah, hal lain menyesuaikan. Yeah, apapun itu, selama bekerja adalah pengalaman sangat berkesan 🙂
Aktivitas ini terus berlangsung hingga akhirnya bisa melewati masa berat itu hingga ketemu Mbak Sri pada Agustus 2015 yang menemani kami hingga sekarang. Sejak itu, Kaira dan Mikhail di rumah. Selain kudaftarkan pos PAUD, Kaira juga mulai kudaftarkan les piano setiap Sabtu dan TPQ Baipas. Jadi, setiap siang, aku jemput dan antar ke TPQ, lalu balik kantor kerja cepet-cepet, lalu jemput mengaji. Jika kerjaan belum selesai, Kaira kupulangkan dan aku kembali ke kantor.
Tanggung jawab sebagai ibu, istri, dan karyawan adalah hal yang rasanya ingin kuutamakan semua saat itu. Yang kupikirkan adalah meski aku sebagai karyawan yang punya tanggung jawab pada atasan/sistem, aku juga seorang ibu yang wajib memenuhi hak dasar anak-anakku seperti mendapatkan ASI-ku hingga 2 tahun, bagaimana pun berat dan penuh tantangan. Juga hak atas pendidikan selelah apapun hidupku, karena aku pegang prinsip syair Arab karya Hafiz Ibrahim: al ummu madrasatul ula, iza a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq (Ibu adalah madrasah (sekolah) pertama bagi anaknya. Jika engkau persiapkan ia dengan baik, maka sama halnya engkau mempersiapkan generasi terbaik).
Tapi ya tentu semua hal tidaklah bisa seideal itu. Hingga suatu titik, aku perlu memutuskan, mana yang akan kuprioritaskan dalam hidupku. Dalam pekerjaan, bolehlah aku gagal dan menyerah. Namun sebagai ibu, apa iya aku akan berhenti menemani anak-anakku? Sebagai pribadi, apa iya aku tidak lagi memperhatikan kebutuhanku sendiri, juga sebagai istri, apakah aku akan selalu kehilangan momentum membangun keluarga yang idealnya disokong oleh semua pihak yang berkepentingan?
Dari sinilah, perdebatan dalam diriku muncul, terus bergemuruh, hingga menemukan momentumnya. Terhitung mulai 1 September 2016, kuputuskan dengan penuh tanggung jawab melepas kewajiban sebagai karyawan dan memulai kembali dengan “profesi” baru sebagai ibu dan istri dengan lebih sungguh-sungguh. Namun aku saat itu, masih belum tahu jika akhirnya kini kami menjadi keluarga homeschooler.