Bagi yang sudah memiliki kesadaran pentingnya menjaga kelangsungan hidup Bumi, mengompos adalah step lanjut bagi orang-orang yang kuamati sebelumnya sudah mulai mengurangi penggunaan plastik atau wadah sekali pakai, beralih menggunakan sapu tangan dan serbet makan, dan mengganti tas belanja plastik dengan kain/bahan lain yang bisa digunakan berkali-kali serta gaya hidup “hijau” lainnya.
Kemarin sore (17/7/2020), aku ikut seminar daring soal mengompos. Kebetulan, para narasumbernya adalah kebanyakan teman yang memaparkan pengalamannya menggunakan komposter. Mbak Kristin pakai takakura, Mbak Elis pakai ember bekas, Mbak Rini pakai karung, dan satu lagi narasumber yang bukan lingkaran pertemananku yaitu Mbak Anita menggunakan biopori dan juglangan. Kesemuanya punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tak ada yang sempurna ya gaes hehe
Di rumah, aku menggunakan dua komposter. Jadi tiga jika dibutuhkan. Yang pertama yaitu jenis anaerob yakni teknologi pengomposan tanpa udara. Bentuknya dari ember cat dan terdapat kran untuk mengalirkan lindi/sisa air sampah. Kedua, sama dari ember bekas cat tapi bawahnya diberi lubang untuk sirkulasi udara. Jadi jenisnya dalah komposter aerob. Keduanya selalu stand by dan digunakan bergantian jika sudah penuh. Yang ketiga ini tidak selalu ada yaitu dari karung beras 25kg yang biasanya bekas beli media tanam atau yang terakhir sebagai bungkus kiriman paket dari mertua.
Kedua komposter ember ini, kudapat dari teman. Mereka menggunakan limbah ember bekas cat yang diolah sedemikian rupa sehingga digunakan. Kalau komposter anaerob, aku beli ke Mas Yani, pegiat literasi di Malang Selatan yang juga punya jiwa enterpreneurship mengubah sampah jadi berkah. Bentuknya lihat ke sini ya.. Jadi di bagian bawah terdapat keran untuk mengalirkan lindi yang bisa menjadi pupuk cair. Selain ember, juga dibekali cairan untuk mempercepat pengomposan. Sejak akhir 2018 aku mulai menggunakannya.
Pertama kali pakai tidak langsung berhasil. Sampahnya becek, berbau got, dan suatu waktu pernah banyak banget larvanya hahaa…Ngeri deh awalnya, yang berikutnya aku tahu malah semakin banyak larva, semakin cepat sampah menyusut. Atas fakta ini, aku semakin hari semakin biasa aja menghadapi ulat-ulat gendut berwarna coklat muda keputihan ini. Belakangan aku tahu, untuk menghilangkan mereka dengan cepat, kita harus menambahkan zat coklat. Untungnya, di dekat perumahan, ada usaha pembuatan mebel yang banyak menghasilkan bubuk kayu. Aku membawa satu kresek sedang dan kutuangkan ke dalam komposterku. Ajaib! hewan melata uget-uget itu hilang entah kemana haha…
Komposter selanjutnya, kupunyai sebagai bagian dari mengikuti pelatihan mengompos yang diselenggarakan Akademi Minim Sampah. Dari sana aku baru tahu kalau menggunakan ember bekas cat saja, kita sudah bisa mengompos. Di sana langsung diajari bagaimana memulai mengompos dengan dibawakan langsung bahannya. Salah satunya adalah sayuran busuk yang diambil dari Pasar Merjosari yang tidak jauh dari lokasi tempat pelatihan.
Selama aku menggunakan komposter ini, bisa disebut tidak baik-baik saja. Hampir mirip dengan komposter sebelumnya tetapi lebih minim rewel. Setiap memasukkan hasil konsumsi dapur yang sebelumnya dicacah (sekenanya ya, aku gak rajin-rajin banget), harus rajin mengaduk. Aku menggunakan garu yang biasanya digunakan untuk berkebun. Soalnya pakai bambu/tongkat kayu, kurang bisa maksimal dalam pencampuran.
Untuk menjadi “matang sempurna” jadi kompos, hampir belum pernah kudapat dari kedua komposter ini. Secara tidak sengaja, suatu saat, kedua komposter penuh. Karena bingung, kugunakan karung berasa bekas ukuran 25kg bekas wadah kiriman media tanam. Kupindahkan 2/3 isi komposter ke dalam karung. Kubiarkan saja dan ternyata lama kelamaan berbau tanah. Waahh kali ini berhasil nih sepertinya. Katanya disebut berhasil jadi kompos jika baunya menyerupai tanah dan bentuknya berubah kecoklatan.
Kalau melihat teman lain, mereka mengayak hasil komposannya. Aku sih enggak, langsung kutaruh di pot tanamanku dan terakhir, aku taburkan di pohon-pohon yang sedang ditanam di lahan perumahan. Lumayan lah buat mengurangi komposku hehe.. Tapi jadinya enggak halus ya..masih mrongkol-mrongkol. Cuman karena masuk di pot jadi ya enggak kelihatan dan lama-lama luruh dengan tanah.
Oya, aku sekarang menghindari mengonsumsi jagung yang dibeli dengan bonggolnya. Lama banget proses komposnya. Jadi sekarang kuganti dengan membeli jagung pipilan yang dibungkus plastik, tapi habisnya lama. Aku menghindari aku jadi stres sendiri melihat bonggol jagung yang tak jadi-jadi.
Ya, mengompos ini kulakukan karena kesadaranku sendiri. Jadi saat membuang sisa sampah dapur untuk dibawa tukang sampah, ada perasaan gak enak banget dan merasa bersalah. Ya ke tukang sampah, juga ke ibu bumi kita. Apalagi masih ada kebiasaan mencampur sampah organik dengan anorganik, meski sudah dipilah dari dapur.
Aku tidak sedang mengatakan jika mengompos ini ditujukan kepada orang lain tapi aku mau menyatakan bahwa mengompos adalah sebentuk pertanggungjawabanku pada Allah SWT yang sudah menciptakan bumi untuk dirawat dengan baik. Juga aku ingin mewariskan kebiasaan baik ini kepada anakku karena generasinmerekalah yang akan tinggal di Bumi selanjutnya jika aku tiada nanti.
Jadi, saat akan belanja apapun, memang kupikirkan pembungkusnya. Jujur saja, selama masa pandemi, sering sekali belanja online yang menambah stok plastik. Selama ini, plastik masih kusimpan dan kupakai ulang setelah dicuci dan dikeringkan. Pernah juga bikin ecobrick tapi nyerah duluan karena beratnya tidak sesuai standar hehe..
Mulailah berpikir masa depan dengan mengolah sendiri sisa konsumsimu, ya Teman.. Silakan cari tahu masing-masing karakteristik komposter dan sesuaikan dengan keadaanmu. Percayalah, jika niatmu bulat, semua hal akan menjadi mudah dijalankan. Tidak perlu mudah menyerah jika belum merasa berhasil karena, sebagai temanmu, hingga kini pun aku belum merasa sepenuhnya sukses 😀