Satu hal penting yang terus kupelajari selama berumah tangga adalah manajemen keuangan keluarga melaui financial planning. Menurutku, mengelola keuangan keluarga jauh lebih penting daripada membiarkan mengikuti arus. Ibarat peta, posisi keuangan yang jelas akan membantu kita memahami di mana dan akan kemana kita.
Soal mengikuti arus,aku pernah mengalaminya. Bukan dalam artian arus boros foya-foya tak berguna tetapi lebih pada besar kebutuhan pengeluaran daripada pendapatan tetapi lebih pada tiadanya perencanaan apapun. Ini terjadi di awal-awal masa pernikahan. Kami berdua memulai hidup dari nol, seperti kebanyakan orang biasa, bukan anak sultan. Kebetulan saat menikah, kami sama-sama sudah bekerja walaupun masih baru. Jadi gajinya masih sangat kecil. Kalau suamiku masih mending. Gajiku hanya sepertiga gaji suamiku. Saat itu juga ditambah aku mengambil program magister reguler yang artinya tidak ada beasiswa apapun alias bayar sendiri.
Tapi entah saat itu, apa yang kami percayai selain rezeki itu Allah yang sediakan dan kita berkewajiban bekerja keras meraihnya. Selain biaya kuliahku, kami mengkredit sepeda motor dan juga laptop, dua barang yang sangat mewah sekali rasanya saat itu. Tapi ya laptopku pernah hilang di bus, perjalanan pulang dari Surabaya ke Malang. Laptopku berubah jadi buku folio bergaris, entah bagaimana caranya. Sepeda motorku juga sempat hilang di rumah yang sekarang jadi Omah Munir, satu atau dua bulan menjelang pernikahanku. Tidak hanya itu, setelah punya anak, aku pernah kejambret tas berisi uang dan HP di depan es degan tawon Suhat yang saat itu ramai sekali. Hahaha…Epic sekali hidupku.
Jadi saat kehilangan seperti itu, tidak ada cadangan atau simpanan. Sudah susah memiliki eh lha kok hilang hahaa…Juga tidak bisa langsung ganti karena tidak punya tabungan. Antara penghasilan dan pengeluaran tidak seimbang. Walau faktanya ya kami bisa tetap hidup atas izin Allah tapi betapa sangat tidak nyamannya kondisi seperti itu. Ibaratnya, uang hanya cukup untuk hari itu saja.
Pahami Filosofi Kenapa Perlu Mengelola Keuangan Keluarga
Dari kenyataan inilah sedikit banyak menempa hidupku lebih tegar menghadapi hidup, khususnya soal uang. Banyak juga hal-hal bodoh lain yang pernah kualami seperti ikut asuransi dengan nilai pertanggungan yang setelah dipikir ulang, sangatlah kecil, Saat awal mengambilnya, kubayangkan uang itu sangat besar. Nyatanya, tiga tahun setelah mendapatkan pencerahan soal literasi keuangan, aku jadi paham, nilai sedemikan itu tidaklah besar dan perlu dibuatkan skema seperti itu. Mungkin gara-gara biasa pegang uang puluhan ribu lalu membayangkan dua puluh juta itu banyak sekali. Setelah pernah pegang dua puluh juta, baru menyadari kalau nominal segitu bukanlah nominal besar sekian tahun ke depan.
Dalam berumah tangga, kebutuhan pasti banyak sebanding lurus dengan jumlah anggota keluarga. Makanya perlu mengenali apa itu prioritas dan bagaimana menjalankan prioritas. Pernah kujalani hidup yang uang selalu keluar namun tidak pernah terlihat hasilnya atau untuk suatu kebutuhan rutin, tidak pernah tahu berapa persen telah dibelanjakan dari total pendapatan.
Makanya perlu mengatur ulang rencana dalam mindset kita, untuk apa kita perlu mengelola keuangan keluarga kita? Apakah ada cita-cita yang harus terwujud seperti biaya pendidikan anak, biaya pernikahan mereka kelak? Apakah ingin bisa berziarah ke tanah suci, dan sebagainya? Ingin punya rumah atau jadi kontraktor sepanjang hayat?
Merencakan keuangan keluarga adalah bagian ikhtiar menuju idaman pernikahan sebagai keluarga yang sakinah yakni keluarga yang tenang atau tentram karena no ribut ribut gara-gara duit. Seperti sudah diketahui, masalah ekonomi merupakan salah satu dari tiga penyebab utama perceraian di Indonesia. Ya macam-macam faktornya seperti suami tidak bekerja/tidak punya penghasilan, pendapatan istri lebih besar dari suami, atau yang terlintas di kepalaku adalah kesalahan manajemen keuangan sehingga antar pasutri saling tuduh dan berakhir runyam.
Maka demi mewujudkan financial freedom kelak di kemudian hari, barulah mulai memberanikan diri belajar mengatur ulang saat akan mengelola kembali keuangan keluarga kita.
Kenali Kebutuhan Keluarga Sendiri
Yang pertama kulakukan adalah mengenali kebutuhan keluarga sendiri. Tipe keluarga seperti apa dalam hal pendapatan dan pengeluaran bulanannya. Untuk itu lalu aku petakan dulu, kebiasaan keuanganku selama ini. Biasanya dalam sebulan, aku belaja rumah tangga apa saja (sayuran harian, gas, galon, beras, bahan lauk, dll), nabung berapa, sedekah berapa, arisan apa saja, menyisihkan berapa untuk investasi, termasuk kebutuhan sekunder dan tersier apa saja (seperti jajan bocah, beli buku, dll).
Setelah itu, baru melakukan pengelompokan dan hasilnya akan kelihatan. Selama 1-3 bulan awal, rutinlah menuliskan semua pengeluaran apa pun, termasuk menulis uang parkir. Insyaallah, 3 bulan mulai cukup upaya mencatat pengeluaran dan pemasukan keuangan, seberapa pun besarnya, sebagai kebiasaan baru yang baik. Aku menggunakan aplikasi “money manager” di appstore (gambar celengan babi) yang gratisan. Biarpun banyak iklan, tapi aku masih tabah menerima hasil akhirnya yang sangat membantu memetakan persentase keuangan keluargaku. Meski aku pakai aplikasi, aku masih mencatat manual keuanganku juga. Biasanya lebih cepat menuliskannya dalam buku baru memasukkan ke aplikasi. Jadi bisa saling cross check.
Untuk bisa mengevaluasi seperti apa model keuangan kita, lakukan secara rutin setidaknya minimal tiga bulan. Jadi nanti akan kelihatan, pos-pos rutin yang harus dipenuhi atau cukup sekedarnya. Barulah kita bisa menentukan bujet masing-masing pos itu.
Ada teman bilang, saat mencatat keuangan keluarga, malah jadi bingung atau marah sendiri karena mengetahui fakta duitnya gak cukup. Tenang, fase ini pernah kulalui. Tapi sepertinya, memulai mencatat saja semua pengeluaran tanpa merencakanan akun pengeluaran kecuali yang sudah pasti seperti membayar cicilan rumah/kendaraan, akan tetap sangat membantu loh.. Kita jadi tahu, seberapa uang sudah keluar. Secara psikologis, rasanya malah tenang karena tahu seberapa duit telah keluar dan mengerem jika mau foya-foya belum pada waktunya. Jadi di akhir bulan, akan ketahuan, oh sebulan ini sudah jajan tak penting sekian. Kalau rajin mencatat, akan bisa membandingkan dengan bulan lainnya. Yang begini enak banget jika sudah pakai aplikasi.
Sebaiknya Tidak Punya Utang Tapi Jika Terpaksa, Milikilah Utang Produktif Bukan Konsumtif
Siapa orang kebanyakan umumnya yang tidak punya utang dalam hidupnya? Pasti hampir semua pernah merasakan, termasuk aku yang mengambil KPR. Bagiku, mengambil KPR bukanlah hal yang hina dan tidak melanggar apapun. Saat mengambil KPR, dengan penuh kesadaran, aku terima persyaratan yang tertera. Itu artinya aku bersepakat dengan ketentuan itu dan justru jika aku lalai, akulah yang sedang melakukan wanprestasi. Memang nilainya lebih besar dari yang seharusnya kubayar tapi itu adalah ikhtiar paling rasional untuk punya rumah sendiri, ya dengan senang hati dan penuh tanggung jawab dihadapi. Toh membayar ke bank setiap bulannya sama artinya sedang membayari rumah sendiri.
Asal sudah paham dengan kemampuan kita membayar utang, buatku sah saja berutang. Prinsip utang adalah maksimal 30-35% dari pendapatan. Dan tentu, utang KPR untuk rumah pertama adalah bukan utang konsumtif. Buatku yang tidak tahan jadi kontraktor, mengambil KPR adalah pilihan tepat. Hidup fokus menyicil KPR lebih baik daripada harus pusing saat waktu memperpanjang kembali atau harus boyongan lagi. Rasanya belum beres semua barang boyongan dalam kardus eh harus pindah lagi. Betapa tidak nyamannya. Ya kalau pas sudah kumpul duit bayar kontrakannya? Dan alhamdulilah akhirnya KPR kami lunas juga. Sudah sah disebut punya rumah sendiri walau utang KPR 😉
Utang konsumtif bagiku adalah mengada-ada untuk keperluan sekunder atau tersier yang secara primer sudah cukup terpenuhi. Misalnya untuk membeli gadget yang sebenarnya cukup dengan spesifikasi A namun agar lebih kelihatan oke di mata orang lain lalu beli dengan spesifikasi A+. Tidak hanya gadget, kendaraan, rumah tinggal, dan ragam gaya hidup lainnya. Cuman ya kalau mengikuti gaya hidup, apalagi kocek pas-pasan, ya namanya cari mati lebih dini hahaa
Kebetulan gaya hidup yang kupilih adalah yang secukupnya saja. Pakaian, gadget, mobil second yang dibeli, memang bukanlah yang paling oke dan tidak ganti sampai waktunya tiba. Tepat sesuai penggunaan saja. Tidak akan ada ceritanya pinjam uang untuk beli HP atau baju hehe
Tapi jujur kuakui, sebelum belajar sedikit demi sedikit tentang uang, selalu ada cara ekspres untuk berutang uang memenuhi kebutuhan mendadak/tidak disiapkan sebelumnya. Yes! Melalui pegadaian haha… Ngomong soal pegadaian, aku sangat bersyukur mengenal lembaga ini wkwkwk… Tidak kubayangkan jika sejak awal menikah, aku tak pernah ke sini untuk kebutuhan uang mendadak/sangat dibutuhkan. Pegadaian membantu sekali memenuhi macam-macam kebutuhan itu seperti bayar SPP magister, menambah uang untuk tetek bengek ambil KPR, bayar les bocah lebih awal biar dapat diskon, dan lain-lain hahaa.. Intinya adalah meminjam untuk sesuatu yang produktif, bukan untuk konsumtif beli ini itu. Big No! Saat aku ngobrol dengan ibuku, beliau kaget. Katanya, seumur hidup, belum pernah ke pegadaian dan tidak menyangka aku adalah member pegadaian hahaa… Kalau ibuku, kulihat beliau ada koperasi sekolah (ibuku guru) yang mudah diakses saat belum pensiun bahkan dalam jumlah besar. Lha aku? Mana bisa jika tidak ke pegadaian hahaha… Alhamdulillah karena terukur, sejauh ini baik-baik saja. aku menggunakan emas perhiasan atau logam mulia sebagai jaminan pinjam di sana.
Belajar Memaksa Menabung, Seberapa Pun Itu
Sejak jaman bocah, pada dasarnya aku suka menabung. Sejak SD sudah punya rekening bank yang bertahan hingga kuliah. Punya seberapa pun uang juga kalau bisa ditabung dulu entah uang jajan, dapat angpau saat lebaran, atau dikasih saudara.
Cuma setelah menikah, kebiasaan itu berubah. Kalau tidak ada yang bisa ditabung ya tidak menabung. Atau kalau ada sisa uang, baru menabung. Ternyata pemikiran yang begini tidak tepat. Prinsip menabung yang baik dan benar menurutku yaitu menyimpan uang di awal dan bukan di akhir sebagai sisa kebutuhan. Karena sudah paham prinsip itu, sekarang seberapa pun diusahakan menabung dulu baru biaya hidup menyesuaikan sisa pendapatan.
Tapi memang harus diakui, berat sekali menabung jika kebutuhan banyak dan masih punya utang KPR. Saat itu memang tidak pernah dtulis jadi uang seperti menguap begitu saja. Tapiakhirnya kubuktikan bisa sih, memang harus memaksa nabung asal ada kemauan. Saat itu nabungnya lewat koperasi, jadi saat mau lebaran, masih punya uang untuk mudik hehe…
Idealnya menabung itu karena sudah tahu tujuannya. Tapi dalam kondisi awal, teruslah menabung dan menabung. Nanti pada step berikutnya, mulailah menata untuk digunakan apa tabungan itu dan menentukan jangka waktunya serta dirupakan melalui instrumen keuangan apa melalui belajar financial planning.
Keluarkan Minimal 2,5% Dari Penghasilanmu untuk Sedekah
Selain menabung uantuk kebutuhan dunia, aku juga melatih diri rutin menabung untuk akhirat yakni menyisihkan setidaknya 2,5% dari penghasilan yang didapat. Ilmu ini kudapat dari teman senior di Averroes dalam sebuah perbincangan silaturahim ke rumahnya. Sebelum ada perbincangan ini, aku tidak pernah menjalankannya rutin dan sepintas lalu. Tapi dari perbincangan itu, aku jadi belajar apa itu ilmu barokah dalam rezeki. Mengutip dari hadits, ada hak orang lain dalam setiap penghasilan yang kita terima entah dari gaji, uang makan, uang kaget, dan apa saja yang diterima dan itu harus dikeluarkan. Cara beliau adalah mencatat semua penerimaan itu dan di akhir bulan, mengeluarkan 2,5%-nya. Ini kuikuti tapi kukeluarkan di awal bulan karena penghasilan kami sebagai pegawai relatif tetap. Jika ada penerimaan lain di luar yang rutin, akan langsung dikeluarkan juga. Intinya tidak berusaha menunda. Untuk besaran, paling aman melebihkan sedikit dari 2,5%. Jadi jika ada selisih hitung, setidaknya masih tertutupi dari kelebihan itu. Untuk ini, semoga Allah ridha.
Naik Kelaslah, Mulai Belajar dan Praktikkan Ilmu Financial Planning
Rasanya bagiku, tidak bisa terus membiarkan hidup mengikuti aliran air. Ya kalau aliran airnya bersih, kalau alirannya bawa kotoran dan sampah? 😀 Hingga akhirnya aku mulai merasa perlu belajar tentang financial planning/perencanaan keuangan.
Finansial Planning menurut pakar keuangan Prita Ghozie adalah sebuah proses dimana seorang individu berusaha untuk memenuhi tujuan-tujuan finansialnya melalui pengembangan dan implementasi dari sebuah rencana keuangan (financial plan) yang komprehensif. Ada prasyarat yang harus dipenuhi untuk bisa disebut menjalankan perencanaan keuangan jika memenuhi unsur seperti memiliki tujuan, tahu kapan waktu pemenuhannya. punya action plan untuk mewujudkannya, ada sumber daya untuk mewujudkan action plan serta paham risiko atas pilihan sumber daya.
Sejak belajar financial planning, meski belum total, namun sembari jalan, hal baru yang sedang kupelajari adalah soal investasi setelah urusan menabung beres. Ternyata, menabung itu juga bagian dari investasi namun berjangka pendek. Sejauh ini yang kulakukan adalah berproses memiliki tabungan darurat, tabungan pendidikan anak, dan mulai menyiapkan dana pensiun. Sedangkan asuransinya, melalui BPJS Kesehatan.
Investasi yang kulakukan adalah menjadi investor saham untuk tujuan jangka panjang. Masih belum mahir sih namun tetap menyisihkan dana ke sini. Sejauh ini baik-baik saja (dengan dinamikanya) selama menjalaninya dan masih perlu mempelajari banyak hal namun aku tidak keberatan untuk itu.
Baca juga: Saham Untuk Pemula, Bagaimana Memulainya?
Sebetulnya, jika aku mahir berbisnis, mungkin investasi yang kupilih adalah berwiraniaga. Sayangnya, aku terlalu cemen belajar di sini. Tidak siap dengan dinamikanya tepatnya. Selama ini berjualan online masih disebut sekedar, belumlah bisa dikatakan serius. Padahal ya, kalau dipikir-pikir, berdagang itu hal yang paling cepat mendapatkan uang. Tapi ya masih dijalani. Kata orang, sembari jalan, akan menemukan bisnis yang cocok dengan kita.
Sejak belajar manajemen keuangan keluarga ini, keuangan keluarga lebih rapi dan tercatat. Aku juga juga tahu posisi keuangan di posisi mana, apakah sudah melewati bujet. Imbas lainnya adalah secara tidak langsung mengerem keinginan yang tidak perlu meski urusan jajan bungkus makanan dari luar diakui kadang sulit dikendalikan. Setidaknya sekarang ini seperti sudah mulai mau apa dengan uang yang ada. Seperti mulai menemukan petanya dan mulai tahu cara mengarah pada tujuan. Tidak lagi mengikuti arus apalagi sampai hanyut, namun berusaha membuat arus sendiri walau sedikit demi sedikit agar tujuan lebih cepat tercapai. Itulah brainstormingku tentang uang dan semoga bermanfaat bagi yang membaca.