Ketidakmampuanku (harus diakui) memenej diri sebagai istri, ibu, dan karyawan rupanya harus segera diputuskan. Jika kuingat kembali pada masa-masa itu, seringkali ketika aku pulang ke rumah dari kantor, aku tidak bisa lepas dari pekerjaan. Seringnya adalah narasumber yang belum ada untuk on air keesokan harinya, membuat malam-malamku jadi tidak nyaman karena harus menghubungi ke sana kemari. Saat genting begitu dan anak meminta perhatian ibunya yang sudah lama di luar rumah, akhirnya jadi aku jadi mudah emosi 🙁 Maaf ya Nak ;,(
Dan sayangnya, aku merasa tidak berjodoh dengan pekerjaan itu. Rasanya kubela dan kuutamakan daripada keluarga sendiri namun tak berada di pihakku. Lalu akhirnya sampailah pada pemikiran: “Buat apa aku mengutamakan pekerjaan namun akhirnya akulah orang yang pertama “merusak” anakku sendiri karena aku sering tidak mampu menahan emosi karena hal yang kuutamakan itu?”
Saat momentum itu datang, Kaira baru saja masuk TK. Sengaja TK yang kami pilih adalah yang dekat dengan rumah. Juga kupikir lebih santuy dalam mengajar calistung. Dia masuk TK umur 4 tahun 3 bulan dan saat umur 5 tahun sudah bisa membaca.
Hari-hari berlalu dengan Kaira yang sekolah TK dan kegiatan pendukungnya, aku kembali aktif sebagai pengurus PKK Kota (yang bisa keluar rumah terus selama 4 hari dalam seminggu dari pagi sampai siang). Kata Mbak Sri sih, biarpun aku gak ngantor lagi, katanya sama aja sibuknya hahaa… Juga menikmati jadi ibu rumah tangga yang lebih punya waktu luang, dan hubungan kami sebagai suami istri semakin membaik karena komunikasi lebih intensif. Tapi tantangan mulai datang. Bagaimana agar anak-anak tidak terlalu banyak mengakses gadget, karena bapak ibunya lebih sering kelihatan pegang gadget haha..
Oh ya, pasca mbak ART pertama ku-PHK, ada sikap tubuh Kaira yang jadi PR sekali. Dia suka melihat miring padahal objek ada di depan mata. Setelah kuobservasi, kutemukan sebabnya kalau saat kutinggal kerja, bersama ART, dia sering nonton tivi dan duduk menyandarkan punggung dan kepala menengok ke arah TV. Hampir selama menjalani 2 tahun bersekolah TK dia juga belum baik benar. Alhamdulillah sekarang berjalannya waktu sudah mulai normal kembali.
Dan yang jelas, selama sekolah, kurasakan kehilangan Kaira yang cerewet, pemberani, rasa ingin tahunya besar. Dia jadi anak yang pemalu, penakut, tidak percaya diri dan mudah di-bully. Ini bikin aku sedih, frustasi, juga merasa bersalah. Ada aku yang bersamanya tapi malah begini 🙁 Malah aku jadi bingung sendiri, bagaimana mendidik anak yang ternyata sama sekali beda/kebalikan denganku saat kecil.
Hingga lulus TK, kami masih belum tahu, apakah lanjut sekolah atau belajar di rumah. Kebetulan saat lulus TK, Kaira masih 6 tahun 3 bulan. Sebagai penganut aliran usia tujuh tahun usia ideal anak masuk SD, setidaknya kami punya satu tahun untuk memikirkan langkah selanjutnya. Jadi kami putuskan selama setahun di rumah saja tapi belum menentukan apa-apa.
Anak-anak mulai kuajak hidup teratur dan disiplin, terutama sikat gigi-pipis sebelum tidur malam. Sehari-hari, mereka juga tidak dibebani pelajaran ala sekolahan apa-apa. Jikalau mengerjakan worksheet, lebih untuk bermain mengisi waktu. Kami lebih menikmati waktu bersama, seperti masak di pagi hari, jalan-jalan pagi, bikin eksperimen science sederhana, atau ikut kegiatanku apa saja yang sekiranya mereka bisa ikut seperti mendatangi pameran buku, pameran lukisan, nonton ludruk, dan lain-lain.
Terutama untuk Kaira, aku ingin dia kembali menjadi anak yang antusias, penuh percaya diri, dan kuat. Juga mengikis trauma/ketakutannya pada matematika/berhitung yang menurutku parah sekali kadarnya. Agar intensif dalam proses bonding, kami putuskan tidak lagi mengakses televisi. Biasanya TV di ruangan bawah, lalu kami ungsikan ke kamar atas yang dihuni jika ada tamu. Atau disetel saat sekedar kepingin saja. Hingga kini, TV adalah barang pajangan.
Jadwal teraturnya adalah mengaji TPQ di sore hari. Pagi sampai siang bermain lalu makan siang dan tidur siang. Bangun dan lanjut mandi untuk mengaji. Hari Sabtu, ikut les piano dan seringnya minta izin tidak mengaji. Aku dan Mikhail hampir setiap sore mengantar, menunggui, dan pulang kembali bersama. Jika Ayah libur maka gantian yang antar jemput Kaira.
Selain itu, Kaira juga kuikutkan ke Klub Pemberi (Pembelajar Mandiri), yakni
Karena merasa ingin berguna dan berbagi manfaat, setiap Minggu pagi-siang, kami bertiga menggelar buku dan dinamai “Tenda Baca Berdikari”. Buku anak-anak kuangkut sebisanya dan kudirikan tenda di Kebun Bibit Mojolangu. Sebenarnya sih lebih momong bocah main ke taman terbuka biar mengurangi main gadget ya..Harus diakui, kami masih terbawa suasana jika Sabtu/Minggu saat aku dulu libur kerja, pengennya goler-goler sambil main HP 😀 Jadi merasa harus melawan kemalasan itu sehingga terbentuklah ide gelar buku di taman hehee…Di samping kalau hari Minggu, di sana banyak anak-anak yang datang. Nyatanya, tidak semua anak mudah/biasa mengakses buku bacaan non buku sekolah.
Aktivitas ini intensif di tahun-tahun pertama dan akhirnya berhenti dua tahun berikutnya karena ada dari kami yang sakit atau mulai banyak kegiatan pada hari Minggu. Lantaran membuka Tenda Baca ini, aku jadi berkenalan dengan jejaring komunitas literasi di Malang Raya hingga nasional hingga sekarang. Karenanya,dulu aku kadang dikirimi buku gratis untuk mendukung aktivitas tersebut.
Jadi, meski tidak sekolah, kami tetap punya kesibukan rutin ataupun mengalir. Oya, selama itu, aku menyicipi beberapa metode untuk sebagian kecil aktivitas pembelajaran seperti Montessori dan Unschooling Hanya saja rasanya kurang cocok. Kalau Montessori terhenti di apparatus-nya yang mana tahan kalau beli dan buat kami yang moody plus malas+pinter ngeles bikin alasan, unschooling bukanlah metode yang tepat karena bikin tambah males hiks…
Intinya, selama setahun tidak sekolah, kami tidak menjalankan “pembelajaran” apapun seperti di sekolah. Hanya memperbaiki kualitas bonding antar keluarga (alias lebih sering krunthelan dan ndabrus menggoda satu sama lainnya hihii), merapikan rutinitas yang kurang baik menjadi lebih bermakna dan berkesadaran sembari menjalankan/menanamkan nilai-nilai keluarga. Mungkin inilah yang disebut dengan proses deschooling yang disampaikan teman-teman HS, yakni proses memberi jeda bahkan mendetoksifikasi nilai-nilai atau pola pikir sekolah yang sistemik, dari sekolah ke HS, Sehingga kita dibebaskan seluas-luasnya agar hidup tidak lagi mengacu selayaknya sistem persekolahan yang mematikan kreativitas, tidak mudah menerima perubahan dan sebagainya. Lamanya deschooling, seperti pernah baca/mengikuti perbincangan live pasangan pegiat HS senior Aar-Lala, adalah n tahun lama sekolah=n bulan lama deschooling. Jadi kalau pernah sekolah selama 2 tahun ya berarti setidaknya menjalani 2 bulan untuk mendetoksifikasi residu-residu sekolah.
Tapi kalau baca buku karya Ivan Illich dimana istilah ini berasal, deschooling digunakan lebih luas yakni untuk menghapuskan sistem persekolahan dalam society (masyarakat) karena sekolah turut serta dianggap mendestruksi tatanan sosial yang menciptakan polarisasi serta melegitimasi kerusakan yang dilakukan institusi lain sehingga melanggengkan ketidakadilan, kemiskinan, dan menghancurkan kapasitas kemandirian masyarakat.
Petualanganku mengembara untuk mencari tahu apa itu HS terus terasah dengan berjalannya waktu. Selain membaca-baca aneka postingan, aku juga sempat ikut Sosialisasi Homeschooling oleh Klub Pemberi pada, 22 Maret 2017 yang diselenggarakan oleh Klub Pemberi. Aku jadi mengenal Ellen Kristi, Maria Sugiyopranoto, Lyly Freshty yang belakangan kuketahui sangat terkenal sebagai praktisi HS menggunakan metode Charlotte Mason.
Soal metode, memang lambat laun aku mulai tertarik dengan pemikiran Charlotte Mason, terutama setelah membaca Cinta yang Berpikir karya Ellen Kristi yang kubeli pada acara tersebut. Tapi ya selanjutnya masih angin-anginan dalam membacanya. Saat datang ke acara itu lebih tepatnya ya karena memang tertarik seperti apa HS itu meski belum yakin benar mau dan bisa menjalankannya. Aku ingat sekali, suamiku harus kubujuk keras agar mau datang dan sejak jauh-jauh hari sudah kuberi tahu soal acara itu.
Bahkan akhirnya aku juga berkenalan dengan banyak praktisi HS lain melalui dunia maya seperti Rahmaida SImbolon (kini anaknya sudah sekolah kembali), Britania Sari, dan masih banyak lagi teman-teman di Jakarta sehingga aku akhirnya ikut juga grup WA Home Education. Maret 2018, aku sengaja ikutan saat komunitas ini mendatangi Planetarium. Kebetulan di grup yang sama, ada Febe Arianti, teman SMA-ku yang aku tahu dia sudah ber-HS lebih dulu. Selama di Jakarta, aku tinggal di rumahnya dan diajak keliling-keliling Jakarta. Dari sana aku dan anak-anak lanjut mbolang dengan transportasi umum ke Semarang, Ambarawa, Demak, dan Kudus. Beruntung aku punya teman-teman yang baik saat mereka tahu aku akan berkunjung. Saat di Museum Kereta Api Ambarawa, ada Aryana dan Ayoen yang menemuiku. Lalu dijemput Ovie teman semasa kuliah dan diajak ke rumahnya di Demak plus diklencerkan ke Kudus. Itu pertama kali juga aku menginjakkan kaki ke kota-kota yang hanya kubaca di buku sejarah!
Berjumpa dengan banyak teman-teman HS-er di Jakarta semakin menambah wawasanku soal bagaimana mereka menjalani HS. Karena jelas tidak hanya anaknya saja yang belajar tetapi dibutuhkan pula orang tua yang pembelajar. Kulihat bagaimana para orang tua berinteraksi dengan anak-anaknya. Aku merasa sangat belajar banyak di sana dan hal inilah yang sedikit banyak menjadi bekal untuk selanjutnya memutuskan menjadi keluarga homeschooler.