Dalam sebuah pillow talk alias leyeh-leyeh kruntelan di kasur geje, kami lagi membicarakan status teman yang posting soal perselingkuhan dan akhirnya nyambung tema #layanganputus.As usually, tidak pernah sekali pun aku memuji perbuatan zina/selingkuh dalam berumah tangga atau poligami. Jadi tentunya sudah bisa ditebak arah obrolannya ๐
“Misalnya salah satu dari kita begitu, pelaku harus keluar dari rumah, tidak bawa harta apa pun, termasuk anak-anak,” jawabku saat ditanya suamiku kalau kejadian begitu. Hal “ora ilok” begini memang biasa bebas terbuka kami perbincangkan. Tidak sedang berharap terjadi namun realistis saja dibicarakan sebagai bagian dinamika rumah tangga. Biar semua tahu “cara main” dalam pernikahan ini.
“Menurutmu, perbuatan selingkuh gitu, bisa dimaafkan gak sih?” tanya suamiku. “Kalau aku enggak bisa (memaafkan). Sekali berani berbuat berarti sudah siap terima risiko pisah. Kalau kamu yang begitu, mungkin aku akan nangis dan marah sebentar tapi rasanya rugi jika kelamaan begitu. Mau pergi, ya wes kono minggato. Masio saiki gak kerjo, aku isok lah golek duit. Kalau sekedar nyari k****l seperti halnya orang selingkuh ngaboti t****k, gampang ae.. Opo angele golek ngono’an. Tapi ya opo iyo mau nyari begituan? Gawe opo?” sambungku terkekeh.
“Kamu beneran gak takut ditinggal aku? Apa aku gak potensial melakukan begitu? Mbok kamu memohon-mohon jangan ditinggalin gitu loo,” pinta Pak Ahmad Ainur Rohman ๐ ๐”Lha lapo?! Gak katek! Aku hanya memohon pada Alloh saja, koyok ganok lanang liyo ae,” jawabku sambil jidatku dikeplak ๐
Berumah tangga itu idealnya saling menghormati, melengkapi, memperkuat, mengayomi, selain menyayangi dan mencintai. Artinya kedua belah pihak sama kedudukannya, sama kuatnya, setara di berbagai kedudukan ketika yang lain kurang mampu. Gerak dominannya dinamis di antara kedua belah pihak. Tidak ada dominasi di satu sisi lalu menindas yang lain.
Kami jadi mengambil kesimpulan jika perselingkuhan terjadi karena dominasi salah satu pihak atas pihak lain. Merasa lebih kuat, hebat, superior sehingga meliyankan lainnya. Lupa kalau perbuatan seperti itu adalah penindasan yang meruntuhkan kepercayaan, kehormatan, dan jiwa tinggi pernikahan.
Satunya adalah pakaian bagi lainnya ketika ditimpa kemalangan. Satu pihak adalah bahu yang kuat untuk bersandar bagi pasangannya tatkala merasa lemah dan hancur. Orang yang patut tahu pertama dan utama atas diri kita adalah pasangan kita. Maka seperti kerata basa Jawa bilang, garwo adalah sigaraning nyowo (separuh nyawa/jiwa). Kalau bicara separuh berarti ini adalah hanya ada separuh lainnya agar menjadi lengkap dan sempurna. Satu kesatuan utuh. Itulah pasangan suami-istri. Satu suami bersama satu istri.
Dalam hipotesis suamiku, istri yang manut banget itu rawan ditinggalkan atau diduakan. Kemungkinan, katanya sebagai laki-laki, ada perasaan (se)enak(nya) saja untuk meninggalkan. Kan istrinya penurut manut tidak akan memberontak. Dan barangkali akan berbeda perlakuan kepada istri yang punya jati diri, kuat, percaya atas kemampuannya sendiri sehingga ada sikap respect dan “gak wani ninggal”. Ego laki-laki begitu kali ya? ๐
Aku memilih menjadi istri “manut pada tempatnya” ๐ Kalau kata agama, arrijalu qowwamu ‘alannisa, dan aku manut kalau sembayang jadi makmum ๐ Soal lainnya, adalah keputusan bersama. Aku dan dia. Tidak bisa aku saja atau dia saja.Bhaiquelah, itu cerita posisku. Sangat subjektif dan tidak perlu didebat karena aku menikah dengan suamiku, bukan denganmu ๐๐
Intinya, pernikahan sehat terjadi karena kedua belah pihak mengamalkan nilai ideal pernikahan tersebut di atas. Sebagai solidaritas sesama istri, jadilah cerdas dan kuat, berani jadi diri sendiri, dan bangga turut serta mewarnai dinamika rumah tangga sendiri. Kalau selesai dalam tingkatan ini sebagai pribadi, tentu akan mudah meletakkan posisi kapan menjadi istri, partner diskusi seru, teman jalan, dan kekasih hebat bagi suami sendiri. Iya gak Mak? ๐๐๐