Pernahkah kalian merasakan sakit yang begitu lama? Lalu ada kekhawatiran saat harus mendatangi fasilitas kesehatan. Cerita ini adalah pengalamanku saat opname di RS UMM, rujukan dari Faskes 1 Klinik Bunga Melati (KBM) Panjaitan sebagai rangkaian dari penggunaan BPJS Kesehatan. Sejak kuposting foto saat akan pulang dari rumah sakit, banyak teman yang bertanya bagaimana ceritanya selengkapnya, yang terbagi dalam dua bagian tulisan. Bagian pertama ada di sini.
Puasa dan Persiapan Operasi
Setelah urusan pasang infus dan pemberian aneka obat melalui infus yang cukup banyak makan energiku, suamiku mengabari dua grup keluarga inti kami tengah malam itu. Di grup keluargaku, adik-adikku masih terjaga tapi di grup keluarga suamiku, ibu masih belum tidur dan langsung menelpon ingin datang ke Malang dan mempertanyakan kenapa baru mengabari. Kami juga kaget, niat awalnya juga hanya mau periksa ternyata disuruh langsung opname malam itu juga dan besoknya dioperasi. Tapi niat kami mengabari adalah minta sebanyak-banyaknya doa terutama dari orang tua. Tentu saja, ibu kami perlu diyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja. Apalagi sekarang masih pandemi, aku gak mau sampai terjadi hal yang tidak diinginkan. Di RS juga ada aturan tidak boleh menjenguk dan yang jelas anak-anak aman di rumah. Lalu kami juga beri nomor mbak ART jika ingin menghubungi anak-anak.
Rasanya untuk memejamkan mata sulit sekali. Masih kaget dan tidak percaya malam itu sudah berbaring di ranjang RS dengan infus terpasang di tangan kiri (karena yang dioperasi sebelah kanan). Apalagi aku masih punya ketakutan masa lalu yang masih membayangi hingga saat ini yaitu kengerian yang amat sangat pada jarum suntik. Bukan rasa sakitnya yang tidak bisa kutahan tapi rasa ngeri saat jarum masuk ke dalam dan keluar kulitku. Seluruh panca inderaku rasanya terjaga dan di telingaku seperti terdengar suara ‘sret’ saat jarum itu keluar/masuk 🙁
Tapi kucoba tidur dan suamiku masih melanjutkan pekerjaannya di lantai sebelah tempat tidurku. Lalu aku terbangun sesaat sebelum adzan Subuh. Setelah itu salat berjamaah dengan suamiku. Selesai salat, kulanjutkan baca Al Quran dan suamiku tidur. Tapi sebelum itu, ibuku juga bapak baru membaca pesan di grup setelah Subuh lalu menelponku sembari menangis. Aku jadi ikut terbawa suasana dan minta didoakan agar operasi lancar. Ibu bapakku berjanji akan melaksanakan salat sunnah dua rakaat sebelum aku masuk ruang operasi. Itu sangat menenangkanku. Lalu aku mencoba tidur-tidur ayam kembali sampai kurasakan sinar matahari menerobos ruanganku. Kulihat keindahan pemandangan di luar sana dan serasa mendatangkan kesadaran tersendiri tentang arti sehat dan bersyukur.
Jam 10 pagi rasanya sangat lama datang. Meski setelah Subuh, mataku agak bisa terpejam tapi tidak pikiranku. Sambil kupandangi gunung yang bisa kulihat dari jendelaku, aku mencoba sampai di titik ikhlas menerima kejadian ini sebagai pengayaan hidup. Tidak mudah untuk sampai pada perasaan ikhlas legowo seperti ini karena kaget harus segera dioperasi dan juga ada semacam ketakutan ‘nanti malpraktek aku mati gimana’, ‘nanti kena covid gara-gara dioperasi gimana’, dan sekian pikiran nanti yang tidak jelas. Sekuat tenagaku, aku memberanikan diri untuk melawan pikiran negatif itu dan mencoba mengubah menjadi sumber keikhlasan hingga akhirnya batinku tenang. Kupikir, kalau tidak ikhlas, operasiku akan terasa sakit (walau dibius) dan akan membutuhkan pemulihan lebih lama.
Beberapa kali perawat datang untuk mengecek kondisi fisikku termasuk memberi infus penambah tekanan darah karena tekanan darahku dianggap terlalu rendah. Lama kelamaan, kesadaran ikhlas itu terasa juga hingga saat kasurku dibawa menuju ruang operasi, aku agak tenang. Kurasakan gemuruh dadaku yang sepertinya terdengar di telingaku. Yang kuingat saat itu adalah Ayat Kursi yang kuulang-ulang hingga masuk di ruang operasi yang dingin.
Sampai ruang operasi, di depan pintu, aku dibantu perawat melepas semua baju untuk diganti baju operasi dan melepas anting, dan memberikannya kepada suamiku yang menunggu di luar. Lalu aku dituntun perawat masuk kamar operasi yang bagiku seperti sangat luas dan aku diminta berbaring di meja operasi. Rasanya hatiku menciut. Takut :'(
Di meja operasi, terdapat dudukan untuk merentangkan tangan. Sempat ada perasaan takut kembali berkecamuk saat kedua tanganku diminta rileks diletakkan di sana. Sembari petugas menyiapkan ini itu, aku belum melihat dokter Aleq. Tapi kulihat di kamar lain dari sebuah pintu saat kutolehkan kepala ke sebelah kanan, terdapat serombongan petugas yang sepertinya mengelilingi pasien lain yang sedang dioperasi terlebih dahulu. “Ya, ini nanti dengan dokter Aleq kok, Bu,” jawab mbak perawat atau dokter juga, aku kurang tahu. Lalu datanglah dokter laki-laki, memperkenalkan namanya (yang aku lupa), dan menginformasikan dirinya sebagai dokter anestesi. Kuanggukkan kepala kepada beliau tanda mempersilakan saat obat bius akan dimasukkan melalui infusku. “Bismillahirrohmanirrohim,” kalimat inilah yang sempat aku lantunkan. Kulihat dari satu bagian bius yang disiapkan dalam spuit, hanya separuh yang disuntikkan hingga akhirnya aku sadar, operasi telah selesai.
Saat kubuka mataku, tenggrokanku sakit. Rasanya seperti karena mangap lama sekali. Kulihat di sebelah kiri jauh, ada bed pasien yang baru dioperasi juga. Mungkin ini seperti ruang transit. Kudengar di ruangan itu cukup ramai suara para petugas. Kucoba memejamkan mata kembali hingga saat kubuka mataku, ada sekitar lima orang denganku berderet siap diantar kembali ke ruangan masing-masing. Akhirnya bedku datang dan aku diminta pindah perlahan dan bed didorong keluar ruang operasi.
Sampai di luar, perawat bertanya siapa namaku. Kujawab tapi mungkin tidak terdengar jelas karena sepanjang yang kuingat sejak masuk hingga keluar, aku mengenakan masker. Langsung saja kuserahkan tanganku yang bergelang identitas. “Pasien atas nama Happy,” begitu suara yang diteriakkan. Kulihat suamiku mendekat dan kulihat wajahnya senang dan lega dengan kehadiranku.
Perawat ruanganku datang dan mendorong bedku kembali ke kamar, dibantu suamiku. Alhamdulillah selesai juga akhirnya. Grup keluarga dikabari juga beberapa teman yang memang sudah tahu aku masuk rumah sakit, dan tentunya kutelpon anakku ke HP mbak ART. Tidak lama kemudian, perawat juga menunjukkan isi benjolan yang dioperasi berikut jaringan yang akan diteliti untuk mengetahui penyakitnya lebih lanjut.
Makan siang lalu datang. Akhirnya kurasakan air membasahi tenggorokanku plus makan siang dan kudapan setelah hampir 12 jam berpuasa. Awalnya suamiku menyuapi. Tapi rasanya tetap enak makan sendiri karena tangan yang digunakan makan tidak berinfus. Pertama kali yang kumakan adalah kolak berisi labu kuning dan pisang. Selama ini kurang suka kolak karena terlalu manis. Tapi saat itu, kurasakan nikmat betul hehe… Alhamdulillah… Setelah itu lanjut makan siang. Enak 🙂
Kebetulan aku sudah bisa jalan beberapa saat pasca operasi di siang itu juga, walau perlu dituntun atau sedikit dibantu suami ke kamar mandi. Tidak terasa pusing juga bekas operasi tidak sangat sakit. Kebetulan sekamar rawat inap ini berisi dua orang pasien. Beliau bertanya: “Loh kok habis operasi bisa jalan?” Aku hanya menjawab iya sambil senyum saja. Lha gimana, aku kebelet pipis masa kudu digendong ke kamar mandi hahaa
Di hari itu aktivitasku lebih banyak tidur dan membalas WA keluarga dan teman. Selain itu menunggu jam makan datang lalu makan dengan (mencoba) lahap. Pada diriku kutanamkan sikap jika ingin sembuh harus mau makan (banyak). Enak atau enggak enak! Tapi rasanya enak saja karena pikiran dan perasaanku menyatakan makan adalah obat juga. Jadi selama dirawat di sana, aku nyaris makan semua yang disediakan sampai tandas! Hehee
Untuk piranti makannya, selama menginap di sana, hanya satu kali pakai piring dan itu untuk penunggu karena saat itu masih puasa. Setelah itu menggunakan kemasan seperti gambar. Tapi aku memaklumi saja, mungkin ini juga bagian dari SOP selama masa pandemi begini, Sedangkan untuk menunya, selain makan lengkap, disertai kudapan dan potongan buah. di pagi hari minum diberi teh hangat dan lainnya minuman mineral kemasan.
Pasca Operasi dan Persiapan Pulang
Hingga keesokan pagi datang. Lalu ada bocah ngambek saat kutelepon rumah. “Ini kan hari Minggu, katanya Bunda pulang, kok belum pulang?” ujarnya bersungut-sungut lalu tidak mau lagi bicara denganku. Hahaaa si bungsuku marah karena dia ingat aku bilang akan pulang sekitar hari Minggu, berdasarkan perkataan dokter saat itu. Aku masih berharap Minggu bisa pulang tapi saat kutanyakan kepada perawat, kemungkinan aku bisa pulang besok Senin.
Sepanjang hari itu juga sama kubuat tidur, membalas WA, juga menyempatkan diri nonton Start Up haha… Siangnya bedku dipindah ke kamar kelas 1 sesuai jatah karena sudah ada kamar yang kosong. Tidak terlalu beda banyak kelas 1 dan 2 untuk besar ruangan kecuali ada AC dan botol mineral kecil di kamar kelas 1 dan kipas angin dan gelas air mineral di kelas 2. Bagiku tidak terlalu bermasalah dengan itu semua. Yang kupikirkan adalah bagaimana tetap sehat dan selamat dengan satu kamar berisi dua orang pasien plus penunggu. Jadi selama menginap di sana, aku mengupayakan betul tetap menggunakan masker walau sedang tidur atau salat sembari duduk.
Selain jam makan sebagai rutinitas, pemberian obat juga tidak pernah terlewatkan. Dari tiga obat yang disuntikkan melalui infus, ada satu obat yang saat disuntikkan memberi efek panas, menyengat dan kemeng (bahasa Indonesianya apa ya?:p). Masing-masing perawat punya cara sendiri untuk memberi tahu soal efek obat itu. Jadi ada yang meletakkan di awal atau akhir. Aku pasrah saja menahan sakit yang tetap bukan apa-apanya saat kontraksi 😛 Tapi yang jelas aku bisa tahan karena tidak ada jarum yang keluar masuk kulitku. Untuk mengurangi sakit bekas suntikan infus itu, aku selalu balurkan Minyak Kutus Kutus. Ini juga kuberlakukan saat gagal pasang infus pertama, jadi punggung tanganku tidak sempat bengkak.
Oh iya, saat jelang siang, kulihat sedikit bercak kemerahan di sprei bedku. Ternyata aku haid! Sebagai informasi, selama ada benjolan ini, aku nyaris jarang pakai celana dalam. Apalagi di rumah sakit setelah operasi. Alhamdulillah aku membawa menstrual cup yang bisa segera kupakai. Aku gak membayangkan jika masih pakai pembalut, apa jadinya luka bekas operasiku hehe
Baca juga: Pakai Menstrual Cup? Aku Sih Gak Takut
Senin pagi tiba. Sekitar pukul 8, Dokter Aleq visite sebentar dan menyatakan aku boleh pulang dan diminta kontrol dua hari mendatang. Yeay! Hanya itu saja, karena tetap saja aku tidak bisa bertanya apa, mengapa, bagaimana benjolan ini ada hingga harus dioperasi. Hasil pemeriksaan laboratorium PA (patologi anatomi) diinfokan baru selesai satu minggu lagi. Jadi ya kupikir, bukan tugas dokter bedah untuk menjawab kenapa semua ini terjadi hehe…
Sembari menunggu proses administrasi, aku masih tetap tiduran dan mengontak Mbak ART jika kami bisa pulang hari itu. Sebelum pulang, perban yang menutup bekas jahitan diganti. Oya selain jarum suntik, aku juga ngeri melihat jahitan di kulit. Dan jenis jahitan bekas operasiku adalah tipe yang harus dilepas setelah luka mengering. Ini juga jadi tantangan kembali buatku untuk proses pemulihan selanjutnya.
Setelah Dhuhur dan tentunya menghabiskan jatah makan siang, kami berkemas. Suamiku dengan sigap mendatangi bagian administrasi untuk menanyakan biaya perawatan. “Nol Rupiah, Bun!” jawab suamiku. Aku hampir enggak percaya juga sedikit ada perasaan tidak enak. “Harusnya tadi aku pura-pura ilangin kartu member RS ya, jadi bisa bayar dikit gitu,” lanjut suamiku memberi ide konyol 😛
Semua barang sudah dibawa dan masuk mobil. Kami berpamitan kepada “teman satu kamar” untuk pulang dulu dan mengucapakan terima kasih kepada para perawat yang sedang berkumpul di area resepsionis.
Sepanjang cerita ini, intinya aku sangat puas dan berterima kasih kepada BPJS Kesehatan, Faskes 1 Klinik Bunga Melati yang tidak mempersulit memberi rujukan lanjutan, dan tentunya perawatan di RS UMM. Memang tidak sempurna tapi sungguh baik yang kuterima selama itu. Dari periksa di faskes 1, rawat inap, hingga kontrol rawat jalan serta obat yang diresepkan, kami tidak mengeluarkan sepeser pun. Semoga program BPJS Kesehatan tetap berjaya dan kedua layanan kesehatan Klinik Bunga Melati serta RS UMM mampu terus mengembangkan inovasi layanan sehingga selalu terjaga profesionalitasnya dan lebih maju lagi. Aamiin