“Dasar budek, gitu aja enggak dengar!”
“Kayak ngomong ke nenek-nenek nih”
“Kalau ngomong sama Happy itu harus keras”
“Happy itu kalau ngomong keras banget”
Itu adalah kalimat-kalimat yang sejak lama sering mampir di kupingku, baik melalui bercandaan atau serius. Kebetulan kok ya namaku ada Budi-nya dan ini sering diplesetkan jadi budek dikit hahaa…Kalau kepada orang yang tidak kenal atau tidak berteman sebelumnya, seringnya aku tidak marah menanggapi hal seperti ini. Tapi biasanya kepada teman yang sudah tahu keadaanku tapi masih saja menjadikan lelucon, biasanya aku tersinggung. “Kamu pikir aku mau sendiri punya kuping budek begini?!” rutukku dalam hati.
Karena jujur saja, memiliki gangguan pendengaran ini kadangkala menurunkan mental sekali. Dikata-katai seperti di atas tadi bukanlah kondisi yang mudah diterima apalagi sudah berjalan puluhan tahun. Ini adalah masalah sepanjang masa yang kuhadapi selama masih berkomunikasi dengan manusia lain. Jadi pilihannya aku mau berkawan dengan masalah atau menerima kondisiku bahwa memang aku memiliki kekurangan di situ sebagai bagian lengkap utuh mencintai diri sendiri.
Tapi ya seiring berjalannya waktu mungkin juga kedewasaan (eciyee), hal seperti itu sudah tidak terlalu mengganggu. Justru yang kupikirkan adalah bagaimana mencari solusi atas problem pendengaranku ini. Hingga sampailah aku di titik sekarang,hampir 40 tahun akhirnya memakai alat bantu mendengar (ABM) lengkap sebagai resolusi 2021 dalam mewujudkan hidup baru melalui pendengaran yang baru (Insyaallah) :).
Mulai Kapan dan Sebabnya Apa?
Soal mulai kapan mengalami gangguan pendengaran, menurutku sejak kecil. Ibuku dulu suka marah-marah kalau memanggilku tapi aku diam saja. Kondisi saat fokus seperti sedang menonton TV atau baca buku adalah masa dimana aku tidak bisa mendengar di luar diriku. “Bocah koh angger diundang mbingsrung baen,” keluh ibuku saat itu. (Itu bahasa Banyumasan yang artinya anak kok kalau dipanggil diam saja :p)
Lalu pernah zaman SD, bapakku membawa ke dokter THT di Puskesmas Pereng yang dekat sekolahku. “Oh ini karena kebanyakan kotorannya,” kata dokter saat itu. Tapi setelah dibersihkan, kondisinya sama saja. Ya aku bisa tetap mendengar tapi harus dari jarak dekat. Kalau dari jarak jauh (jauhnya adalah subjektif bagiku) ditambah tidak bisa melihat mulut orang yang berbicara, ya wassalam saja alias gak bisa dengar hehe..Telingaku bisa menangkap suara tapi tidak untuk kata-kata/kalimat.
Kalau kutanyakan kepada dokter THT atau hearing advisor penyebab mengapa aku memiliki gangguan pendengaran itu hampir tidak ada yang bisa menjawab penyebab pastinya. Mendatangi profesional di bidang pendengaran beberapa kali kulakukan saat sudah kuliah di Malang. Tapi kuingat cerita ibuku, saat masih bayi, aku pernah step/kejang demam hingga dua kali. Mungkin kondisi inilah yang merusak syaraf pendengaranku. Untung masih hanya mengganggu pendengaran ya, tidak yang lainnya hehe..Alhamdulillah 🙂
Orang-orang yang mengenalku dulu mengatakan mungkin saja gangguan pendengaranku terjadi karena aku bekerja di industri radio. Tapi kurasa, sebelum masuk ke sana, aku memang sudah memiliki gangguan pendengaran. Namun hampir 7 tahun bekerja di sana kemungkinan menambah derajat gangguan pendengaranku. Tapi soal ini, aku sangat bersyukur pernah turut mewarnai lembaga penyiaran publik RRI Malang sebagai presenter dialog. Walaupun aku memiliki keterbatasan pendengaran, setidaknya aku masih bisa mewawancarai orang yang isinya berguna untuk publik, dengan syarat harus pakai headset ya…
Sejak Kapan Mengenal Alat Bantu Mendengar?
Saat kuliah, kegiatan berkomunikasi dengan orang beragam semakin banyak seperti mengikuti diskusi baik dalam kelas maupun di luar hingga menonton teater kampus yang minim efek sound. Kondisi yang pastinya butuh mendengar dengan baik. Hingga akhirnya, aku lupa alasan yang membuatku ke sana, aku mencoba memeriksakan diri ke salah satu optik di daerah pusat kota Malang. Setelah diperiksa melalui tes audiometri, derajat gangguan pendengaranku yang kanan adalah 60 db (sedang-berat), dan yang kiri 90db nyaris mendekati 100db (kategori berat). Sedangkan orang normal berkisar 25 db
Lalu untuk pertama kalinya, aku menggunakan ABM. Tapi saat itu, aku hanya pakai di telinga kanan saja karena telinga ini dianggap masih cukup optimal mendengar sehingga sebaiknya dipasang ABM. Sedangkan yang kiri, tidak diberi alat karena pertimbangan biaya saja. Saat itu aku masih kuliah dan sungkan meminta banyak kepada orang tuaku. Meski orang tuaku dengan ikhlas mau membelikan, aku yang menolak. Sungkan saja rasanya, melihat masih banyak adik-adik yang membutuhkan biaya pendidikan sedangkan satu ABM itu mahal sekali rasanya, apalagi harus pakai dua.
Hasilnya setelah dipakai hanya satu alat, aku stres. Kupingku sakit banget karena semua suara masuk terutama di jalan raya, Tapi yang coba dipakai terus dan menganggap itu adalah penyesuaian diri. Tidak bertahan lama aku menggunakan ABM itu dan kembali kulepaskan. Maaf ya Pak, Bu untuk kondisi saat itu :'(
Hingga pada 2016, aku mendatangi dr. Rus Suheryanto, Sp.THT. KL(K) (cuma dipicu alasan apa ke sini, aku lupa). Dokter Rus menyatakan jika gendang telingaku sudah mengalami semacam pengapuran sehingga suara yang diterima tidak bisa diolah dan diteruskan dalam tahap selanjutnya. Pengapuran gendang (timpanosklerosis) ini, kata beliau, lazim terjadi pada manula. Penjelasan beliau inilah yang akhirnya selalu kusampaikan kepada orang jika ada yang bertanya soal penyebab gangguan pendengaranku. Saat itu, telingaku diperiksa dan diperlihatkan melalui layar LCD, gendang telingaku terdapat warna putih-putih dan kondisi itu bukan hal yang normal untuk orang seusiaku. Untuk menegakkan diagnosis ini lalu beliau menyarankan aku mendatangi Kasoem Hearing & Speech Center (KHSC) Malang yang berlokasi di depan RS Lavalet untuk Tes Audiometri.
Kasoem Hearing & Speech Center Malang
Di KHSC Malang, aku berjumpa dengan Mas Dede Mahmud yang membantuku menjalankan tes audiometri. Tes audiometri adalah pemeriksaan untuk mengetahui kemampuan mendengar dan mendeteksi masalah pada pendengaran. Tes ini bisa digunakan untuk siapa saja mulai bayi hingga manula.
Untuk menjalankan tes ini, tidak perlu persiapan khusus kecuali isi perut dulu ya biar tidak kelaparan karena durasi tes kurang lebih 30-45 menit. Selain itu sebaiknya membuat janji jadwal temu karena ruangan terbatas dan kita jadi langsung diperiksa tanpa harus menunggu.
Pemeriksaan dilakukan dalam ruangan kedap suara dan ber-AC. Karena ini musim pandemi, tetap gunakan masker selama di dalam ruangan dan cuci tangan menggunakan sabun sebelum masuk KHC. Akan ada serangkaian tes antara lain speech perception test, audiometri nada murni (pure tone audiometry), dan timpanometri. Ketiga tes ini yang kujalani dan semuanya menggunakan headset. Ada banyak varian tes audiometri yang mungkin pada setiap orang berbeda-beda ya.
Speech Perception Test (SPT) adalah pemeriksaan untuk melihat seberapa baik kita mendengar dan mampu memahami percakapan sederhana/kata. Nanti kita akan diminta mendengarkan kata/kalimat lalu mengucapkan ulang.
Audiometri Nada Murni yaitu pemeriksaan yang bertujuan sama dengan SPT namun bukan dengan kata/kalimat melainkan bunyi-bunyian aneka macam mulai dari nada rendah sampai tinggi melengking. Kita nanti diminta memencet tombol jika bisa mendengar suara itu sekecil apapun. Kedua telinga akan dites bergantian.
Timpanometri yaitu tes untuk memeriksa telinga bagian tengah yang terdiri dari gendang telinga dan tiga tulang pendengaran yang menjadi penghubung gendang telinga dan telinga bagian dalam dimana syaraf pendengaran terletak. Nanti akan ada alat yang diletakkan di telinga dan kita diminta diam tidak boleh bergerak dan bersuara. Kalau yang kurasakan, seperti ada tekanan di dalam telinga ketika tes ini berlangsung.
Setelah tes lalu dievaluasi hasilnya dan diterangkan seberapa besar kerusakan/penurunan pendengaran kita. Selanjutnya akan dicobakan alat bantu mendengar (ABM) sesuai dengan derajat kerusakan pendengaran kita. Di sinilah pertama kali aku menggunakan ABM sepasang, kanan dan kiri. Rasanya lebih nyaman dan takjub! Banyak suara-suara yang selama ini tidak bisa kudengar seperti suara AC dan komputer dalam ruangan itu. Suamiku seperti terharu sekali saat itu dan bertekad membelikanku ABM. Aku juga pernah menuliskan pengalaman ini melalui Facebook.
Apalagi saat itu mulai mendengar info kalau ABM bisa ditanggung BPJS Kesehatan sebesar Rp 1 juta. Sayangnya, saat itu, aku baru resign dan otomatis kepesertaan terhenti dan harus mengaktifkan milik suamiku yang memerlukan waktu. Sembari menunggu namun banyak hal terjadi. Kami anggap masih belum rezeki untuk mewujudkan memiliki ABM.
2020 Akhirnya Pakai ABM
“Hidayah” untuk memakai ABM akhirnya datang kembali sejak aku harus opname karena operasi yang ceritanya bisa dilihat di sini dan sini. Setelah itu juga kontrol kembali bertemu dokter dan perawat. Sungguh aku tersiksa karena di masa pandemi begini, semua orang menggunakan masker dan berjaga jarak. Untung selalu ada suamiku yang menjadi translator alias penyambung lidah rakyat eh salah :p Jadi orang lain bicara pada suamiku lalu suamiku baru menyampaikannya padaku. Kebanyakan begitu dan sungguh aku frustasi!
Hingga akhirnya tercetus ide untuk mendatangi kembali ke KHSC. Ini gegara aku tidak sengaja melihat info promo KHC di momen 12-12 melalui Instagram mereka. Aku membayangkan bisa mengurangi biaya pembelian ABM dengan potongan diskon sekaligus potongan dari BPJS Kesehatan karena ABM termasuk yang ditanggung dengan besaran maksimal Rp 1 juta. Sepertinya menyenangkan hehe
Tentu karena ingin mendapatkan jaminan dicover BPJS Kesehatan maka kami menggunakan prosedur rujukan yang berlaku. Saat itu, rujukan di RS UMM untuk proses pengobatanku masih berlaku hingga 13 Februari 2021. Tapi karena kami pikir bisa mengajukan rujukan baru untuk bisa ke dokter THT ya kami mendatangi faskes 1 Klinik Bunga Melati seperti biasanya. Di sana baru dijelaskan dokter jika rujukan yang masih berjalan tidak bisa dibuatkan rujukan baru hingga masa berlakunya habis. Selain itu diinformasikan jika dalam satu rumah sakit, antar dokter spesialis diperbolehkan memberikan rujukan internal.
Hari itu Sabtu, 12-12-2020, merupakan hari keberuntunganku. Itu adalah hari terakhir kontrol kepada dokter Aleq dan dinyatakan tuntas semua hasil pasca operasi serta saatnya mendapatkan rujukan ke dokter spesialis paru, mendasarkan hasil lab PA. Dengan gambling, suamiku meminta pertimbangan dokter Aleq apakah bisa merujuk juga ke dokter spesialis THT mengingat kondisi istrinya ini yang selalu butuh ditranslate. “Kalau saya sih mau saja membantu membuatkan dua rujukan tapi sistem hanya memperbolehkan satu,” terang beliau. Beliau juga bilang kalau nantinya bisa meneruskan membuatkan rujukan ke dokter spesialis paru melalui dokter spesialis THT.
Rasanya senang sekali hari itu, karena dokter Aleq berkenan memberikan rujukan ke dokter spesialis THT yang bisa kami urus hari itu juga. Terima kasih ya, Dok _/\_. Setelah melakukan pendaftaran di resepsonis, akhirnya bisa juga mengantre ke dr. Nurul, Hapsari, Sp.THT-KL. Kepada beliau, kusampaikan kalau ingin periksa kondisi telinga apakah cukup bersih sebelum melakukan tes audiometri dan nantinya ingin bisa menggunakan ABM sesuai prosedur BPJS, termasuk harapan bisa mendapatkan rujukan lanjutan ke dokter spesialis paru. Kebetulan aku juga membawa hasil pemeriksaan dari KHC tahun 2016 itu. Alhamdulillahirobbil’alamiin..Mungkin itu sudah rezekiku, dokter Nurul memudahkan semuanya dengan memberikan surat pengantar ke KHC.
Sehari sebelumnya, memang aku sudah menelpon KHSC untuk menanyakan informasi promo dan kejelasan prosedur BPJS yang kebetulan diterima oleh Mas Dede. Kami membuat janji temu keesokan harinya pukul 13. Pas sekali urusan di RS UMM selesai semua. Sampai di sana ternyata, ada persyaratan yang kurang lengkap yaitu surat legalitas dan eligibilitas dari RS UMM untuk diteruskan ke BPJS. Tapi ini kemudian kuurus kembali ke RS UMM dan segera kususulkan ke KHC.
HIngga pada hari itu akhirnya ketemu kembali dengan Mas Dede setelah 4 tahun berlalu untuk tes audiometri lagi. Hasilnya semakin terjadi penurunan dari hasil pemeriksaan terakhir kali. Karena sudah mantep mau pakai ABM, hari itu juga sekaligus mencetak earmold (cetakan kanal telinga untuk menyalurkan suara ke telinga dan terpasang pada ABM) dan mencoba beberapa ABM yang sesuai. Kebetulan saat itu masih ada promo diskon 10% sehingga kami DP dulu dan sisanya setelah barang datang. FIxed akhirnya aku akan pakai ABM!
Tidak sampai dua minggu dari yang direncanakan, akhirnya pada Rabu (23/12), aku kembali ke KHSC untuk mengambil alat sekaligus melunasi kekurangannya. Kubayarkan sisa kekurangannya tapi baik aku maupun Mas Dede sama-sama lupa untuk mengurangi yang dijamin BPJS Kesehatan. Sesenang itu sampai lupa hahaa
Di telinga kanan, aku menggunakan Ria 2 Pro BTE dan di telinga kiri menggunakan Dynamo SP 4, keduanya buatan Oticon, Denmark. Hari itu tercatat sebagai hari paling menggembirakan selama tahun 2020 hehe
Aku diajari untuk memasang baterai hingga cara perawatannya. Yang menyenangkan dari KHSC adalah banyak banget bonus yang kuterima seperti baterai gratis, wadah+sabun pembersih, alat pembersih, dan silica untuk menjaga dari kelembaban. Yang kayak begini dulu di tempat lain, kudu bayar loh hehe… Oya, ada garansi 1 tahun untuk mesin dan 2 tahun untuk servis.
Sejak keluar dari KHSC hari itu, aku langsung pakai hingga sekarang walau hanya di rumah. Ini adalah bagian dari fase penyesuaian diri agar lebih terbiasa. Saat ini, meski melewati jalan raya, rasanya telingaku tidak terlalu terganggu walau lalu lintas ramai namun aku tetap bisa mendengar suara pembicaraan. Aku juga tidak pusing mendengar suara baru dan nyaman saja. Yang jelas, derajat kepercayaan diriku naik sekian persen saat berbicara dengan orang lain walau mereka pakai masker wkwkk…
Bagi yang merasa mengalami penurunan atau gangguan pendengaran, coba datang saja dulu ke Kasoem Hearing and Speech Center Malang. Tidak bayar walau hanya diperiksa dan sepanjang pengalamanku, selalu mendapat pelayanan yang baik, ramah, dan profesional.
Dulu aku merasa, ada kalanya nyaman sekali tidak bisa mendengar dengan sempurna. Juga merasa hening dan tenang tanpa harus mendengar suara yang tidak perlu. Namun hal seperti ini, harus diakui, sangat memengaruhi kualitas berkomunikasi terutama dengan orang-orang terdekat. Kata suamiku, suaraku kini lebih lembut dan ramah didengar. Ya setidaknya kami sudah dalam frekuensi nada yang sama. Di sini aku jadi merasa lebih bersyukur akhirnya bisa menggunakan ABM di masa yang menurutku tepat dan semakin menyadari berkah memiliki suami yang sangat supportif dan menerima kekurangan istrinya selama itu dengan sepenuh hati. Terima kasih sudah membantuku melewati fase ini dan mari songsong hidup baru yang lebih bermakna dengan kualitas pendengaranku yang lebih baik.